Wawancara PH Agusta : Lebih Dekat Dengan Sutradara Parts Of The Heart (bag I)

Industri perfilman Indonesia sedang menggeliat dan ini pun diakui oleh Hollywood.

Setidaknya hal itu yang dikatakan oleh mantan vice president Universal Pictures, Donna Smith  ( baca kembali wawancaranya di Boleh.Com ).

Donna Smith mengatakan bahwa di Indonesia banyak orang yang bukan hanya membicarakan film, namun juga membuatnya. Dan orang-orang luar biasa tersebut memiliki passion dan kepedulian terhadap film.

Salah satu dari orang-orang luar biasa tersebut adalah Paul Hayanto Agusta.

Paul Agusta

Pria yang akrab disapa dengan PH. Agusta ini memang masih awam bagi telinga penonton film Indonesia kebanyakan.

Filmnya baru dua, Kado Hari Jadi ( 2008 ) dan At The Very Bottom of Everything, dan filmnya juga tidak diputar di bioskop komersial Indonesia.

Dua film tersebut ditayangkan secara ” gerilya” di pusat-pusat kebudayaan, misalkan Kineforum, serta di berbagai negara luar dan festival-festival.

Tema film PH Agusta, memang kebanyakan bertema yang tidak umum dan rawan mendapat kritikan tajam. Misalkan tema lesbian, gay, biseksual dan transgender. Bisa dibayangkan apakah tema-tema tersebut mendapatkan tempat luas di masyarakat kita?

Tapi, bila merujuk kepada pernyataan Donna Smith, bahwa Indonesia adalah negara yang sedang berkembang industri perfilmannya, kehadiran sineas macam PH Agusta adalah penting.

Dia berani menyuguhkan alternatif tema film di luar arus. Dan inilah yang menyebabkan kami merasa wajib untuk memberitakan keberadaan sineas sepertinya.

Idealis? Sebuah kata yang bisa ditafsirkan beragam bila kita ingin menggambarkan seorang PH Agusta.

Yang jelas, pria bertubuh besar ini memiliki ide-ide yang juga besar. PH Agusta tahu apa yang ia inginkan dalam setiap karyanya.

Dan ketika kami menemuinya di sebuah kafe di Plasa Senayan pekan lalu, kami melihatnya sebagai sosok yang nyaman untuk diajak mengobrol. Dia terbuka masalah pilihan hidupnya untuk menjadi seorang gay. Dan dia kami lihat sebagai sosok yang tangguh, memiliki visi, namun juga pemalu.

PH Agusta adalah sosok yang menarik dan adalah hal penting untuk memiliki seorang sineas seperti dirinya,. Dan kami akan membawa kalian mengenalnya lebih jauh, lewat petikan wawancara kami dengannya mengenai visinya, pendapatnya mengenai perfilman dan juga film terbarunya, Parts Of The Heart dan film horor Menara Bala, seperti berikut.

Ada banyak film-maker di Indonesia saat ini. Sedangkan filmmu tidak bisa diakses oleh banyak orang. Dirimu menempatkan diri sebagai film-maker yang seperti apa?

Gimana ya? Nggak terlalu memposisikan diri secara sengaja sih. Cuma dari awal saya lebih berkonsentrasi bikin film the movies I really want to make, tanpa harus mempertimbangkan soal komersialiasitas atau profit. Jadi most the films I made are low budget. Dan sejauh ini sejak film pertama, Kado Hari Jadi ( 2008) dan At The Very Bottom of Everything, walaupun ngga ditayangkan di sini dan nggak dapet rilis di 21 atau apa, dua film tersebut masuk ke festival film di Rotterdam, Kado Hari Jadi  sempat didistribusikan di Jepang, dan film kedua didistribusikan di beberapa negara Eropa. Sekarang, film terbaru saya, Parts of The Heart, saya mau coba untuk masukil LSF, minimal untuk limited release di Blitz atau sejenisnya. Namun, bila juga nggak, akan konsentrasi ke roadshow dan konsentrasi lebih ke festival di luar negeri.

Menurut salah satu produser Parts of The Heart, John Badalu, film tersebut akan “bergerilya” di pusat-pusat kebudayaan ?

Kalau untuk di Indonesia kayaknya akan seperti itu, jika tidak lulus sensor. Tema film ini kan LGBT, jadi kita juga tidak mengharap terlalu banyak. Nggak sepenuhnya yakin bisa lolos. Pengen iseng-iseng berhadiah aja, misalnya lolos ya bagus. Jadi bisa ditonton semua orang.

 Ketika seorang sineas membuat film, ada banyak tujuan mereka. Ada yang untuk bisnis, untuk konsumsi publik atau untuk memberikan semacam “edukasi”. Kalau seorang PH.Agusta? Saya dengar filmmu banyak yang personal..

Aku bikin film untuk mengekspresikan kenarsisan dan curhat ( tertawa). Basically. I’m often being a film maker curhat. Tapi, ya, I think film is a very personal medium. I use it to express my emotions and my thoughts on subject. Dan saat ini mulai tertarik untuk mengeksplor wilayah komersil dan sejenisnya. Tapi. It’s not my priority. Berikutnya, aku rencananya akan bikin film untuk konsumsi publik tahun depan. Tapi untuk sekarang mau konsentrasi ke Parts of The Heart dulu. Dan film itu jika bisa untuk konsumsi publik ya bagus, namun jika cuma untuk festival aja ya nggak masalah.

Di lokasi Parts Of The Heart 

Kalau untuk film setelah Parts of The Heart sudah jadi naskahnya?

Sudah jadi. Sedang mencari dana. Kebetulan sudah sepertiga jalan pencarian dananya. Jika everything goes well, syutingnya akan mulai pertengahan tahun depan.

Tentang apa naskah berikutnya?

Film Horor. Horor actually is my favorite genre. Cuma, aku termasuk film-maker yang agak aneh. Aku film-maker yang jarang ke bioskop dan jarang nonton rame-rame. I prefer to watch movies in private. Di rumah, di kamar, DVD atau nonton di laptop pake earphone. I don’t like going in to public with 200 people and watching a movie. Saya sering dapat undangan premiere film atau pembukaan festival, tapi saya jarang hadir. I don’t really like to be in public that much. Buatku film itu lebih asyik ditonton di rumah, sendirian. Aku pergi ke bioskop biasanya jika ada film-film yang menurutku harus ditonton di bioskop. Buat dapetin  full experience-nya.

Film pertamamu Kado Hari Jadi apakah bisa disebut horor?

Kado Hari Jadi  itu thriller. Alasan nggak lulus sensor karena film itu super violent. Dan genre horor aku suka sekali. Dan aku sekarang mulai frustrasi dengan film horor Indonesia, yang jujur aja 95% nya masuk kategori sampah. Dan aku mencoba menawarkan sesuatu yang baru aja di genre horor Indonesia.

Film horormu setelah Parts Of The Heart apakah sudah memiliki judul?

Judul sementara Menara Bala. Itu basically ceritanya sangat simpel. Satu gedung apartemen ada delapan orang terperangkap dalam gedung itu nggak bisa keluar. Dan satu persatu dari mereka mati. Jadi cuma satu lokasi, satu gedung yang punya 10 lantai dan setingnya sangat sempit, sangat terbatas dan sangat klaustrofobik. Yang jelas nggak akan ada pocong dan kuntilanak.

Menara Bala akan membuat penonton klaustrofobia?

Rencananya gitu. Tapi, nggak akan ada setan-setan tradisional.

Tapi bila menilik industri perfilman negara lain di Asia, seperti Thailand, Jepang atau Korea Selatan, di mana mereka dikenal dunia lewat film horor yang menampilkan setan atau hantu tradisional dan mereka berhasil. Apakah salah bila Indonesia juga mengeksploitasi hantu lokal?

Tidak salah sama sekali. Namun, terkadang film-maker kita kurang kreatif dalam memilih setan-setan tradisional yang dipake. Kenapa harus melulu pocong, kenapa harus melulu kuntilanak. Sedangkan, bila menurut “katalog” setan Indonesia itu kan luas banget. Tapi yang muncul itu-itu aja. Kalo untuk film hororku selanjutnya belum tertarik untuk mengeksplorasi setan tradisional. Mungkin untuk berikutnya. Karena ide Menara Bala  ini sudah lama sebetulnya. Dan saya pribadi suka dengan tema horor dengan hanya satu atau dua lokasi yang sangat terbatas. Karena pembangunan suspense­-nya lebih gampang dan lebih kuat sebenarnya. Dan meskipun ceritanya akan ada hantu, tapi lebih ke soal spiritual. Lebih ke arh persoalan heven dan hell seperti itu.

Tentang eksistensi?

Kalau memakai eksistensi kayaknya berat banget,ya. Aku masih berusaha untuk menampilkannya dalam konsep menghibur, namun menoba untuk tidak menjadi picisan juga. Sebenarnya  kan konsep alam baka bukan hanya sekedar hantu dan setan. Dan aku mau mengeksplorasi lebih dari sekedar hantu-hantuan.Tentang angels and demons, goods and evils. Hal-hal seperti itu.

http://www.boleh.com/news/read/cinema/movie_news_index/6624_wawancara_ph_agusta_lebih_dekat_dengan_sutradara_parts_of_the_heart_bag_i_


Leave a comment