Wawancara PH Agusta : Lebih Dekat Dengan Sutradara Parts Of The Heart (bag II)

PH. Agusta ( dokumen pribadi)

Lanjutan wawancara PH. Agusta : Wawancara Dengan Sutradara Parts of The Heart Bagian 1

Ceritakan tentang filmmu yang akan segera ditayangkan, Parts of The HeartIni filmmu yang menceritakan tentang tema LGBT, bukan?.

Parts of The Heart itu menceritakan tentang kehidupan seorang gay yang bernama Peter. Mulai dari saat dia masih anak-anak hingga masa dewasanya. Ada 8 segmen cerita. A Stolen Kiss, The Game Kiss, Solace, The Club VirginThe Last Time, 3, sertaThe Couch And The Cat dan Why Isn’t Peter Happy?. Basically all the elements of the story happened to me one way or another. Seperti gua bilang tadi, film curhat. Dan, ya, sebenarnya sih kalo gua heteroseksual dan bikin Parts of The Hearts, pasti gua akan bikinnya dari point of view heteroseksual. Tapi, sebenarnya dari awal, Parts of The Heart, bukan sebagai a gay film. Tapi lebih bikin a personal story. Dan kebetulan my personal is political ( tertawa).So, jadi didukung oleh John Badalu dan Q-munityjuga membantu dari segi produksi, so now it has become officially LGBT filmI have no problem with that. Karena gua pribadi merasa, jenis-jenis film LGBT yang ada di Indonesia, masih kurang membahas tema baru dan masih fokus ke tema itu-itu juga. Eksplorasi temanya kurang. Kadang-kadang masih, gimana ya, masih seperti agak apologetic minta maaf. Atau yang masih terlalu kurang pede, masih memperlakukan LGBT sebagai suatu masalah. Dan yang kita lakukan di Parts of The Heart adalah film ini tentang 8 kisah cinta sesorang dalam hidupnya. Kisah cinta di film ini bisa terjadi antara laki dan perempuan, perempuan dengan perempuan, atau laki dengan laki.

So, homoseksual dalam film ini bisa jadi natural. Bukan sesuatu yang terlalu difokus. Yang lebih difokuskan adalah perjuangan dia dalam his love life. Yang lebih dimajukan adalah cinta dalam wajah homoseksualitas.Untuk menunjukkan bahwa gay people are people tooWe have the same problems, gay relationship, straight relationship, whatever it’s called, they have the same issues. Kadang-kadang memang hidup kita dipersulit dengan, you know, beban-beban sosial dan moral. Tapi di luar dari itu, basically we are just people and our lives are exactly the same. Dan itu yang itu coba ditonjolkan dalam Parts of The Heart.

 

Q ; Saya jadi lebih tertarik dengan karakter-karakter yang ada di Parts of The Heart 

PHAGusta : semua karakternya bukan jenis orang yang menggembar-gemborkan seksualitasnya. Tapi lebih kayakgua bisa cerita salah satunya. Ada dalam salah satu cerita di mana karakter Peter sudah dengan pacarnya selama lima tahun dan dia mulai bosan. Semua orang mengalami kebosanan itu. Bila sudah lama dalam sebuah hubungan, whether it’s a gay relationship, straight relationship, whatever. Jadi kita lebih fokus ke masalah relationship-nya, daripada ke orangnya. Tujuannya untuk menunjukkan everything is same. We have the same problem. Whether you are gay or not, why we see it differentlyKalo gua sih merasa dari dulu, the best kind of activism for LGBT’s issues is not really to have parades or something like that, tapi lebih kepada live a good life.

Q : Banyak yang menganggap kaum gay adalah kaum yang hedon? 

PHAGusta ; Ya. Live a good life, as a good person. People especially who are in art atau in public lifegua merasa akan lebih baik mereka come out dan ngejalani kehidupan yang biasa ajaNggak perlu menggembar-gemborkan bahwa mereka gay, tapi just don’t hide it and live by example aja. Memberikan contoh kepada orang bahwa gay people are just as a normal as everyone else.

Q : Jadi Parts of The Heart kayak semacam penggambaran sisi lain dari kehidupan seorang gay?

PHAgusta : Ya a ‘lil bit. Itu adalah efek samping yang diharapkan. Kalau misalnya tujuan awalnya sama seperti gua bikin film-film gua yang lain. Karena ada cerita yang pengen gua certain dan ada yang pengen gua ekspresikan. Itu aja. Dari awal memang nggak ada rencana untuk pesan moral atau pesan politik tertentu. It’s not the way, you know, I’m not interested in making statements. I’m just interested more in expressing an idea.

Q : Kalau dilihat dari kasting yang kamu cari,well, saya baca pengumuman kasting itu juga. Banyak memilih karakter-karakter yang internationally. Seperti karakter berwajah Kaukasian dan sebagainya. Apakah ini kayaksemacam peralihan bahwa film ini adalah kehidupan yang internasional,bukan di Indonesia, sehingga lebih sedikit mengundang konflik? 

PHAgusta : Nggak. Sama sekali nggak. Itu nggak terlalu diniatin sih. Ini kan ceritanya tentang my own life. Setiap chapter, karakternya sama si Peter. Dari umur delapan sama 40 tahun. Alasan kenapa kita kastingnya agak memilih banyak ras, gue nggak ingin Peter-nya diperankan oleh orang yang sama atau secara visual sama.Gue ingin walaupun namanya sama semua, walaupun basically in essence the same person, secara visual gue ingin mereka terlihat beda. Untuk menunjukkan bahwa Peter itu everybody. Peter can be anyone. Ketika dia berumur sepuluh tahun, dia Endy Arfian The Perfect House ), at 36 Peter is Joko Anwar. Yang secara visual beda banget. Karena secara visual untuk menunjukkan bahwa Peter ini bisa siapa aja. Untuk soal Caucasian itu, ada satu chapterchapter ketiga dalam film ini , salah satu karakternya itu memang Caucasian. Karakter itu berasal dari salah satu orang dari kehidupan gue dan dia Caucasian.  Jadi gue milih aktor yang Caucasian karena karakter aslinya memang Caucasian.

Q : Parts of The Heart sudah selesai proses syutingnya? 

PHAgusta ; Sudah, 100 %. Sekarang sedang diedit. Ngejar untuk selesai Desember.

Q : Mengejar untuk premiere  di mana? 

PHAgusta : Kita sedang mengejar sebuah festival. Gue belum berani bilang festival di mana. Dan kalau udah confirm di festival itu, kita akan ngadain premiere di sana lebih dulu.  Baru setelah itu bakal roadshow di sini. Dan gue ingin ngadain premiere di sini yang nggak gede-gede banget, tapi lumayan ngundang banyak orang lah. Lokasinya belum ketemu. Tapi sudah membicarakan beberapa venue. Karena budget untuk film ini memang tidak besar. Sangat kecil. Jadi Parts Of The Hearts sebenarnya udah resmi mulai dari tahun lalu syutingnya. Namun syutingnya bit by bit. Masalahnya duit juga. Selama ini kita mengandalkan kebaikan orang, kebaikan teman. Semua krunya tidak dibayar. ­Bener-bener kerja gotong royong. Gue beruntung banget bisa dapetin  DOP (director of photography ) sekelas Faozan Rizal ( Tendangan Dari Langit, Pengejar Angin, Perempuan Berkalung Sorban– red) . Dan editornya juga Muhammad Ichsan I worship him a lot. Bisa dapet orang-orang seperti Nazyra C. Noer, Joko Anwar, gue beruntung banget. Jadi film ini dibuat berdasarkan kebaikan orang-orang. If I didn’t have friends like them, this film can’t be made. ( tertawa).

Q : Momen apakah yang membuatmu menentukan diri ingin menjadi seorang film-maker? 

PHAgusta When I was 8 years old, I wanted to be a film-makerMy father is a writer , and my mother is a painterSo it seems very logical If art is in my blood ( tertawa). I grew up around artists. Ya, kalau di keluarga gua itu ada joke,  kalau mau jadi pemberontak di keluarga ini jangan jadi seniman. Jadi akuntan. Karena isi keluarga gua seniman semua ( tertawa). Actually I went into the family business and became an artistI didn’t become a rebel and become a lawyer or doctor. I went to film school. Sekolah film di Amerika. Lulus tahun 2003 dan balik ke sini. Dan nggak pernah yang namanya kepikiran mencoba hal lain karena sejak umur delapan tahun cita-cita dan tujuan utama emang mau bikin film. Dan tidak terpikir untuk karir lain. Kalau soal menghasilkan uang I write, I translate, I do music videos, company profiles, whatever. Makanya selama ini kasarnya film-film yang saya bikin selama ini adalah film bakar duit. Nggak menghasilkan uang. Dan gua ingin di Menara Bala mencoba untuk menghasilkan uang. Tapi jujur aja, menghasilkan duit bukan tujuan utama gua, karena so far hidup gue nyaman ajaGua bisa menghasilkan duit di tempat lain. Gua berpikir film adalah passion guaWhat I wanna do in my life. Tapi, gua nggak terlalu ingin concern dengan you know menjadikan film sebagai tempat menghasilkan uang. Karena, kadang-kadang kalau passion dan profit digabung, pasti passion-nya akan berkurang lambat laun. Jadi gua mencoba berkonsentrasi menghasilkan uang di tempat lain, agar gua bisa menghasilkan film yang gua inginkan.

Q; Soal pendanaan film-filmmu? Apakah mendapat pendanaan dari pihak di luar negeri? 

PHAgusta : Film pertama, Kado Hari Jadi, itu dari kantung sendiri. For the first time and the only time in my life, gua kerja kantoran, selama 4 bulan. Ngumpulin duit. Gaji nggak gua spend. Gaji gua tabung. 4 bulan udah tekumpul, berenti, bikin film. Film Kado Hari Jadi masuk Rotterdam, di Rotterdam dapet digital production fund Hubert Bals Fund dapet 20 ribu Euro, bikin film kedua. Film kedua, At The Very Bottom of Everything, sepertiganya didanai oleh Hubert Bals Fund,  sisanya investor pribadi. Sebenarnya lebih ke donor, karena gua dari awal udah bilang, nggak bakal balik modal. Ini proyek eksperimental. Terus untuk Parts of The Heart ini, segmen pertama yang kita syut tahun lalu, itu dari kantong sendiri. Tapi, beberapa segmen setelahnya, itu system kejanya, gua minta tolong sama John Badalu untuk ikut jadi produser dan John cariin investor. Jadi sistem kerjanya, satu film satu orang. Itu kan delapan film pendek dan kita so far udah dibantu beberapa orang. Salah satu produsernya itu Vera Lasut ( produser The Perfect House-red). Dia mendanai dua film di Parts of The Heart bersama Ibunya Ellin P. LukmanI’m very thankful for thatQ juga mendanai satu section. Empat section terakhir yang kita syut terakhir ada satu investor dari Amerika yang mendanai. Dan ikut akibat kerja keras John Badalu. Utang budi banget sama dia.

Q : Menurutmu pribadi, bagaimana perfilman kita saat ini secara keseluruhan? Film kita belum banyak pilihan. Sekalinya ada sineas yang menawarkan alternatif tema baru, filmnya susah diakses. Sedangkan bagi beberapa orang perfilman di luar negeri, pasar perfilman Indonesia adalah pasar yang sedang bertumbuh. Bagaimana menurut pendapatmu? 

PHAgusta I agree with thatGue sih merasa banyak sekali suara-suara original dari film Indonesia. Suara-suara yang bener-bener bikin semangat. Bagus dan genuine dari perfilman Indonesia. Namun, sayangnya, mayoritas dari suara-suara original dan bagus itu , Karena sistem industri kita, mereka agak terpinggirkan ke independen. Agak harus fokus lebih menjual filmnya ke luar. Dan di sini mereka hanya bergantung kepada roadshow, university. Makanya gua akhir-akhir ini lumayan semangat dengan adanya Sang Penari masuk bioskop and it’s doing very wellI’m so happy about thatGua beberapa tahun terakhir ini adalah fan beratnya Ifa Ifa Isfansyah–sutradara Sang Penari­red). Dari semua film pendeknya gua nontonI think he is one of the most original and brilliant  voices in Indonesian cinemas now. Dan bahwa dia sekarang sudah mulai ke, you know, arah mainstream, itu perfect. Dan yang lebih perfect dari itu adalah kualitas filmnya tidak berkurang. Jelas sekali bahwa Sang Penari itu adalah visi awal yang impactful dan nyata.

Q : Jadi dirimu optimis dengan perfilman Indonesia? 

PHAgusta : sangat optimis. Sangat banyak sekali film-maker kita yang gua suka bangetGua huge fan of  Ifa.Gua juga huge fan of Lucky Kuswandi an I’m a huge fan of  Edwin, Sammaria Simajuntak I think there are a lot of  film-maker kita banyak yang bagus. Ada Jason Iskandar, ada Tumpal Tampubolon. Bila dari SDM atau film-maker Indonesia, sebenarnya banyak banget yang bagus. Tapi yang dapat fokus sedikit. Jadi gua setuju dengan pendapat tersebut, bahwa Indonesia bisa menjadi sebuah pusat pergerakan perfilman baru di dunia atau di Asia Tenggara. Sangat berpotensi. Banyak sekali bakat di sini.

Q : Film kita belum punya ciri khas yang bisa dikenali sebagai film Indonesia. Entah dari gaya, tone, warna dan sebagainya. Seperti kita melihat film Jepang, Korea, India, Filipina, atau bahkan sekarang Malaysia. Film-film mereka bisa langsung dikenali. Sementara film Indonesia belum memiliki ciri khas itu. Apakah menurutmu itu sesuatu yang baik atau merugikan perfilman kita? 

PHAgusta : Menurut gua itu suatu keuntungan. Jujur saja, to be frank, apakah ada satu kebudayaan Indonesia? Indonesia itu unik karena comprises hundreds of different cultures. Mengharapkan atau ekpektasi ada satu look atau ada satu cara berpikir, satu visual atau satu estetika yang sama dari film Indonesia itu hal yang nggak masuk akal. Karena pengaruh dari dalam budaya Indonesia itu sendiri sudah terlalu banyak dan beragam. Dan menurut guaselling point dan strong point kita adalah keberagaman itu. Menurut gua jangan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mencari satu nasional style, ” O film Indonesia tuh kayak gini” . Seperti Jepang, style-nya udah agak kebaca. Tapi, Jepang secara ukuran jauh lebih kecil dari ukuran kita. Secara variasi kultur kita lebih banyak dari mereka. Malaysia juga smaller disbanding kita. Bahkan penduduk Jakarta mungkin lebih banyak daripada penduduk Malaysia. Mereka mungkin lebih mudah untuk punya satu identitas visual dan kultural dalam perfilman mereka. Tapi, Indonesia seharusnya bangga karena kita punya vocabulary dan estetika yang jauh lebih luas daripada Negara-negara lain.

Q : Apa yang menjadi inpirasi terbesarmu untuk menjadi seorang film-maker?

PHAgusta : Waktu umur gua delapan tahun, gua diajak nonton Never Ending Story ( 1984- sutradara Wolfgang Petersen –red). Terus I asked my mother, the people who made this movie, what are they called?. My mother said ” Oh they are called film-makers”. And then I said, okay, I wanna be a film-maker. Jadi saat kecil, gua udah tau bahwa tujuan hidup gua adalah untuk bikin cerita-cerita aneh dalam bentuk visual. Tentunya pada umur delapan tahun, gua belum tau persis film itu apa. Tapi, gua suka nonton yang beginian dan gua mau bikin. Itu aja. Tapi makin gua ingat, makin lama makin diseriusin , dari umur 11-12 tahun sudah mulai baca-baca buku berat. Sejarah film, kayak-kayak gitu. Belajar teori produksi. Tapi gua agak aneh. Karena, sekarang kan orang-orang udah semangat bikin film mulai dari umur SMP atau apa. Gua dulu nggak mau. Gua dulu keukeuh harus sekolah dulu sebelum gua coba bikin. Jadi gua belajar teorinya dulu. Banyakin nonton film. Baru pas semester awal kuliah, itu pertama kalinya gua angkat kamera dan bikin film.

Q: Boleh tahu referensi filmmu? 

PHAgusta Gua ada beberapa sutradara yang gua admire. Tapi setiap film itu, gua cenderung percaya bahwa cerita mendikte segalanya. Jadi gua menentukan style visual, itu semua berdasarkan skenarionya dulu. Kalo skenarionya bisa dibikin seperti ini, maka gua akan bikin seperti ini. Kalo skenarionya butuh pendekatan low budget, kasar, roughgua akan bikin kayak gitu. Jadi, kalo secara visual sih, banyak yang bilang sama gua, film gua dari film satu ke film lain, secara visual tidak terlalu ada benang merahnya. Karena secara tematik film-film itu berbeda. Gua, basically, budak cerita. Jadi kalo ceritanya kayak gini, pendekatannya harus kayak giniNgikutin ceritanya. Gua pribadi, film-maker yang gua sembah itu kayak Jim Jarmusch, Takashi Miike, Michael Haneke ( The White Ribbon– menang di Cannes 2009 –red). Kalau lokal, I’m a huge fan of Sjumandjaja. Atheis is one of my favorite filmGua suka Asrul Sani, terutama naskahnya. Gua juga respek sama Arifin C. NoerActually,gua banyak terinspirasi dari karya-karya Arifin C. Noer. Di film At The Very Bottom of Everything, itu ada beberapa segmen yang secara visual terinspirasi, bukan dari salah satu filmnya, tapi dari salah satu play-production­-nya yang gua tonton waktu kecil, Sumur Tanpa DasarI knew Arifin C. Noer. He was a very good friend of my fatherWhen I was child, my father always took me to his plays. So I knew Jajang and Nazyra from my childhoodGrowing up, I don’t really know who he was. Then after I became and begin to be a film-maker and watch his body of work, I found that one of the strongest and the most original voices hereI love Taksi.  I think it is one of the best film ever writtenI respect him a lotI Love Teguh KaryaBut I’m not a fan of himGua juga fan dari Ifa, Edwin, Nan T. Achnas. Produser, gua respek sama Shanty Harmayn ( Produser Sang Penari, Garuda Di Dadaku 2).

 

Q ; jika Shanty Harmayn mengajak kerjasama? 

PHAgusta : gua sih hayok ajaI’m willing to work with anyoneGak pernah menutup diri berkolaborasi. Ngga kmungkin bagi seorang film-maker terlalu menutup diri untuk berkolaborasi, mau ngapain?Film-making itu bukan an individual artIt’s a collective artNggak biasa terlalu mengusung ego di situ. Harus mau bekerjasama dengan setiap orang. Gua nggak menutup diri bekerjasama dengan setiap orang.

Q : Jadi bagaimana penonton bisa mengakses film-filmmu sebelum ini? 

PHAgusta Kado Hari Jadi, bia dibeli DVD-nya. Di IDFilmCentre.Com udah dijual. Hanya 25 ribu saja. Bisastreaming juga di IDFilmCentre.ComAt The Very Bottom of Everything, dirilis DVD-nya di Eropa. Belum di sini. Kita terlalu sibuk mengerjakan proyek lain, jadi DVD untuk di Indonesia, agak keteteran. Setelah Parts of The Heart sudah selesai dan mulai agak tenang, baru kita mulai mikirin tentang DVD, At the Very Bottom of Everything. Karena tim produksi kita sangat sedikit, Waktu syuting Parts of The Hear¸tim produksi kita Cuma 15 orang. Untuk film-film pendek gua yang lain bisa ditonton di Youtube

Q: Produksi Parts of The Heart berapa lama secara keseluruhan? 

PHAgusta  : Pertama kali jalan itu Oktober 2010. Jadi sampai akhir final production sekitar Desember- Januari nanti, jadi sekitar setahun.

http://www.boleh.com/news/read/cinema/movie_news_index/6648_wawancara_ph_agusta_lebih_dekat_dengan_sutradara_parts_of_the_heart_bag_ii_

Leave a comment